Jumat, 21 Januari 2011

Makin Parah Dalam Pasungan

MELUKIS, menulis cerita, membuat film dokumenter, dan melakukan aktivitas produktif, seperti menggoreng kacang. Itu beberapa contoh terapi bagi penderita skizofrenia. Hasilnya terbukti efektif: membuat si penyandang tidak mudah lepas kendali diri. Namun terapi ramah dan murah itu tidak menjangkau hingga jauh.


Menurut data Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)-meski belum ada penelitian menyeluruh-masih sangat banyak keluarga yang memasung saudara mereka yang menderita skizofrenia. Memasung tidak hanya secara fisik-membelenggu kaki-tapi juga dalam arti memutus hubungan dengan dunia luar. Niscaya penyakit skizofrenia makin parah.

Menurut survei yang ada, yaitu dari Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu penderita gangguan jiwa berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung. Alasan pemasungan umumnya agar si penderita tak membahayakan orang lain dan menimpakan aib kepada keluarga. Padahal memasung itu melanggar hukum. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Surat Menteri Dalam Negeri 11 November 1977 juga memerintahkan semua kepala daerah agar melarang warga memasung penderita gangguan jiwa. Kini pemerintah pun tak main-main, dengan mencanangkan "Menuju Indonesia Bebas Pasung 2014".

Komunitas Peduli Skizofrenia juga menggiatkan gerakan bebas pasung bagi penderita skizofrenia, atau yang umum disebut orang gila. Yang menjadi sasaran advokasi adalah pihak keluarga penderita, karena merekalah pelaku pemasungan. Ahad dua pekan lalu, KPSI menggelar pertemuan yang melibatkan penderita skizofrenia dan keluarganya di Yogyakarta. "Pemasungan harus diganti dengan dukungan keluarga," Bagus Utomo,

Ketua Komunitas, menjelaskan. Kegiatan serupa akan digelar akhir bulan ini di Tangerang, Banten. Pengalaman para penderita berikut pedoman untuk keluarga mereka akan dibukukan tahun ini.
Pemasungan jelas memperparah skizofrenia. Dari pengamatan selama melakukan pendampingan, Bagus mencatat sederet dampak negatifnya. Penderita mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri, dan putus asa. Lama-lama muncul depresi dan gejala niat bunuh diri. Dari sisi pengobatan juga kontraproduktif. "Obat dosis tinggi tidak mempan lagi," kata Bagus.

Tanpa dipasung, dengan pengobatan yang tidak intensif saja sudah bisa membuat penderita skizofrenia makin parah. Kakak Bagus yang penderita skizofrenia, contohnya. Semula hanya berdiam diri, yang berlanjut dengan membakar sampah-sampah di dalam rumah, membuat api unggun dalam rumah, sampai mengamuk. "Bertahun-tahun kami tidak nyenyak tidur," Bagus mengisahkan. Setelah menjalani pengobatan, terapi, dan mendapat dukungan penuh dari keluarga, akhirnya sang kakak pulih.

Hervita Diatri, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Divisi Psikiatri Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pernah meneliti dampak pemasungan. Dalam kurun 2006-2007, dia mencermati 15 kasus pemasungan penderita skizofrenia di Samosir, Sumatera Utara, dan Bireuen, Aceh. "Kaki dan tangan mengecil," kata Hervita. Setelah diperiksa dengan saksama, otot dari pinggul sampai kaki mengecil karena lama tidak digunakan. Dampak ini dijumpai pada penderita yang sudah dipasung selama sepuluh tahun.

Yang lebih parah adalah gangguan mental. Emosi korban pasungan meluap-luap, mudah marah, dikucilkan, pendendam, sampai hilang ingatan dan depresi. "Lebih enak dipenjara daripada dipasung," kata Hervita menirukan seorang penderita yang kebetulan pernah merasakan keduanya, yang akhirnya bisa pulih.
Korban terpasung yang marah meluapkan emosinya di luar normal. Ada kasus seorang penderita berteriak-teriak setiap malam. Pada akhirnya kemarahan akan reda, penderita merasa letih dan memilih diam. Keadaan memang menjadi tenang, tapi justru dalam kondisi diam ini pengobatan makin sulit dilakukan, karena semangat hidup mulai redup. "Gejala yang paling sulit diobati adalah hilangnya semangat dalam diri, obat tidak membantu banyak," ucap Hervita. Ketika masih dalam kondisi meluap-luap, penanganannya justru relatif lebih mudah dengan menyalurkan emosi itu sembari melakukan pengobatan berjalan.

Pemasungan berarti tanpa penanganan. Semakin lama tidak ditangani, kerusakan otak niscaya makin parah. Tak usah lama-lama didiamkan atau dipasung. "Sekitar tiga tahun otak makin rusak dan berdampak ke mana-mana," kata Nurmiati Amir, ahli kesehatan jiwa FKUI-RSCM, Jakarta.
Skizofrenia adalah penyakit otak akibat kelebihan dopamin, salah satu sel kimia otak sejenis neurotransmitter-penyampai pesan antarsaraf-yang sangat berperan mengatur fungsi motorik, status emosional, kognitif, juga pembelajaran perilaku. Sebagai perbandingan, orang yang kekurangan dopamin menderita parkinson, penyakit dengan gejala seperti kesulitan bergerak atau lamban bereaksi.

Dalam kondisi tanpa pengobatan itu, dopamin terus meningkat dan menjadi racun yang membunuh sel saraf (neuron) otak yang lain. "Saraf di otak pun seperti gundul, kehilangan serabut, dan terjadi pelebaran pembuluh saraf," Nurmiati menjelaskan.
Dalam kondisi itu, kerja saraf otak pasti terganggu. Tak ada pesan-pesan antarsel saraf sehingga fungsi kognitif, emosi, dan verbalisasi merosot tajam. Dengan kondisi lebih parah, pengobatan makin berat. Terlebih respons pada obat atau terapi juga turut tergerus. "Sel sarafnya kurang, pesan tidak diterima optimal."

Celakanya, kata Nurmiati, kebanyakan penderita skizofrenia dibawa ke ahli kesehatan jiwa dalam kondisi kerusakan otak yang sudah parah. Ini karena masih luasnya stigma keliru seakan-akan penderita skizofrenia tak bisa disembuhkan, menjadi aib, atau berkelindan dengan mistik. "Harus dipahami, skizofrenia bukan salah bunda mengandung, tapi memang ada sesuatu di otak penderita," Nurmiati menandaskan. "Bisa dikontrol dan kembali normal, kok."

Masalahnya memang obat-obat generasi terbaru yang tidak sekadar menghilangkan gejala seperti halusinasi, delusi, kekacauan perilaku, tapi juga menyeimbangkan kadar dopamin, masih mahal. Menurut Nurmiati, biayanya mencapai Rp 2 juta per bulan.
Sementara itu, obat lama yang sekitar Rp 200 ribu sebulan mempunyai efek samping. "Wajah tanpa ekspresi seperti topeng atau perilakunya kaku seperti robot," dia menjelaskan. Ini karena kerja obat yang memblokir dopamin berlebihan sampai kadang tempat yang memerlukan dopamin pun terblokir.
Langkah paling bijak tentu pengobatan sedini mungkin dan berada di antara keluarga yang memahami. Jika sudah sampai tahap sering mengamuk, Hervita Diatri mewanti-wanti agar penderita tidak dilawan. "Tidak ada gunanya, mereka tidak bisa membedakan yang nyata dan halusinasi, jadi bawa saja ke ahlinya," katanya.

Memahami gejala awal skizofrenia adalah yang terbaik. Jadi waspadai bila anggota keluarga Anda tiba-tiba menarik diri dari pergaulan dan menunjukkan penurunan fungsi perilaku yang drastis. Mendadak tertarik mendalami agama secara fundamental atau menjalani laku spiritual ekstrem juga perlu diwaspadai. "Ini bisa jadi bagian dari gejala, tapi penilaian umum menganggap itu sebagai pertobatan atau wujud kealiman," ujar Hervita.
( disadur dari : tempointeraktif.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar