KOMPAS.com — Problematika perempuan memang kompleks. Termasuk dengan peran perempuan sebagai ibu. Kelebihan berat badan, ibu disalahkan karena tak bisa mengurus tubuhnya. Anak menjadi nakal, atau nilai matematikanya jelek, ibu disalahkan dengan berbagai argumentasi, mulai dari kegagalan memberikan nutrisi hingga salah asuhan. Sebaik apa pun usaha yang dilakukan perempuan untuk memenuhi semua keinginan anggota keluarga, tetap saja kegagalan, kesalahan, dilimpahkan kepada perempuan. Lebih memprihatinkan lagi, seorang ibu selalu saja salah di mata anak perempuannya.
Peran ibu nyatanya memegang peran sentral. Bapak Psikologi Analisis Sigmund Freud selalu mengajukan pertanyaan pertama kepada pasien dalam sesi terapi, mengenai hubungannya dengan ibu. Ungkapan ibu sebagai tiang negara juga menunjukkan betapa pentingnya peran ini. Belum lagi dekrit para psikolog pop yang menyatakan, dan meyakini selama bertahun-tahun, bahwa masalah sosial yang terjadi dalam sebuah lingkungan masyarakat bisa ditelusuri dari peran ibu yang buruk. Ibu memegang peran sentral sekaligus dianggap biang dari berbagai masalah.
Sementara itu, di sisi lain, peran ayah bukan menjadi perhatian penting. Namun, justru bukannya tak penting, karena ayah aman dari berbagai limpahan kesalahan. Saat ayah tak menafkahi keluarga dan ibu bekerja keras untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sedikit saja sumpah serapah yang ditujukan kepada ayah. Saat ayah tak hadir di tengah keluarga karena sibuk bekerja tak banyak keluhan atau kesalahan yang dilimpahkan kepadanya.
Inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi Tanith Carey, penulis Where's My Little Girl Gone? How to Protect Your Daughter from Growing Up Too Soon.
Bahkan putri kecil Carey pun menyalahkannya karena salah memberikan hadiah Natal. Sebab, hadiah itu tak sesuai seperti yang ada di daftar dan putri kecil Carey pun menyalahkan ibunya sepenuhnya.
Psikolog Paula Caplan, penulis Don’t Blame Mother: Mending The Mother Daughter Relationship, mengatakan bahwa ketidaksempurnaan ibu dalam menjalankan peran terlalu diekspos berlebihan. Ini menunjukkan adanya harapan tinggi atas peran ibu.
"Kita fokus pada apa yang tidak atau belum dilakukan ibu, tanpa mempertimbangkan mengapa kita melakukan itu," katanya.
Sementara edukator pola asuh anak Noel Janis-Norton menuturkan, para ibu mengalami masa yang jauh lebih sulit karena perempuan harus bisa melakukan segala hal dalam satu waktu. Sementara laki-laki diperbolehkan atau diberi pilihan untuk mengejar kesuksesan lebih dahulu.
Apakah lantas perempuan hidup tanpa pilihan? Haruskah ibu selalu sempurna melakukan segala hal dan patut dipersalahkan atas setiap kegagalan? Menurut Carey, tanpa bermaksud memelihara mitos kesempurnaan ibu ini, banyak perempuan yang justru melestarikan mitos ini. Masih banyak kaum ibu yang memelihara peran sempurna ini, termasuk dipersalahkan saat tak sempurna.
Noel, yang juga adalah konsultan keluarga di New Learning Centre, Hampstead, London, mengatakan, perilaku seperti ini cenderung menurun kepada anak perempuan. Seorang anak perempuan, kata Noel, menyadari bahwa ia akan tumbuh seperti ibunya. Ibu menjadi sosok yang teramat penting dalam hidupnya.
Meski begitu, tetap saja ibu akan melakukan apa saja untuk melindungi anak dari perceraian, masalah keuangan, dan kekerasan dalam hubungan anak dengan pasangannya. Ironisnya, tetap saja ibu dipersalahkan jika tak sempurna menjalani semua peran itu.
Paula mengatakan, yang perlu dilakukan ibu adalah menjalani pola asuh yang lebih rasional, terutama pada anak usia lima tahun. Pada usia inilah anak membentuk karakter dirinya.
Carey pun menyadari, sebelum terlambat, yang harus dilakukannya kini adalah mendidik anak perempuannya agar mitos ini tak dipelihara terus-menerus. Caranya, Carey sebagai ibu akan selalu melakukan yang terbaik. Jika pun gagal memberikan yang terbaik, tidak ada seorang pun yang berhak menyalahkan orang lain yang telah berusaha. Setiap orang berhak dihargai atas usahanya meski tak sempurna.
Psikolog Paula Caplan, penulis Don’t Blame Mother: Mending The Mother Daughter Relationship, mengatakan bahwa ketidaksempurnaan ibu dalam menjalankan peran terlalu diekspos berlebihan. Ini menunjukkan adanya harapan tinggi atas peran ibu.
"Kita fokus pada apa yang tidak atau belum dilakukan ibu, tanpa mempertimbangkan mengapa kita melakukan itu," katanya.
Sementara edukator pola asuh anak Noel Janis-Norton menuturkan, para ibu mengalami masa yang jauh lebih sulit karena perempuan harus bisa melakukan segala hal dalam satu waktu. Sementara laki-laki diperbolehkan atau diberi pilihan untuk mengejar kesuksesan lebih dahulu.
Apakah lantas perempuan hidup tanpa pilihan? Haruskah ibu selalu sempurna melakukan segala hal dan patut dipersalahkan atas setiap kegagalan? Menurut Carey, tanpa bermaksud memelihara mitos kesempurnaan ibu ini, banyak perempuan yang justru melestarikan mitos ini. Masih banyak kaum ibu yang memelihara peran sempurna ini, termasuk dipersalahkan saat tak sempurna.
Noel, yang juga adalah konsultan keluarga di New Learning Centre, Hampstead, London, mengatakan, perilaku seperti ini cenderung menurun kepada anak perempuan. Seorang anak perempuan, kata Noel, menyadari bahwa ia akan tumbuh seperti ibunya. Ibu menjadi sosok yang teramat penting dalam hidupnya.
Meski begitu, tetap saja ibu akan melakukan apa saja untuk melindungi anak dari perceraian, masalah keuangan, dan kekerasan dalam hubungan anak dengan pasangannya. Ironisnya, tetap saja ibu dipersalahkan jika tak sempurna menjalani semua peran itu.
Paula mengatakan, yang perlu dilakukan ibu adalah menjalani pola asuh yang lebih rasional, terutama pada anak usia lima tahun. Pada usia inilah anak membentuk karakter dirinya.
Carey pun menyadari, sebelum terlambat, yang harus dilakukannya kini adalah mendidik anak perempuannya agar mitos ini tak dipelihara terus-menerus. Caranya, Carey sebagai ibu akan selalu melakukan yang terbaik. Jika pun gagal memberikan yang terbaik, tidak ada seorang pun yang berhak menyalahkan orang lain yang telah berusaha. Setiap orang berhak dihargai atas usahanya meski tak sempurna.
( disadur dari : kompas.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar